TINA ANDINI – Opini Bagaimana Budaya Hukum yang Berkembang di Indonesia
Hukum merupakan suatu aturan atau norma yang berlaku bagi masyarakat di suatu daerah. Perkembangan hukum sudah ada semenjak zaman penjajah, peralihan penjajah, kemerdekaan, hingga saat ini. Perbedaan nya terletak pada fungsi subjek, yang dulu hanya difokuskan kan bagi kepentingan kelompok tertentu dan menyengsarakan bangsa. Namun saat ini sudah disesuaikan untuk mengatur kegiatan dan interaksi masyarakat. Berawal dari proses sosial suatu individu dengan individu lain, kemudian muncul suatu tata cara berkehidupan yang teratur. Dimana terdapat nilai-nilai tertentu yang mengikat. Baik nilai budaya, sosial, maupun nilai kepentingan. Maka dengan seiringnya waktu, hal ini disebut sebagai budaya hukum.
Budaya hukum adalah suatu tata cara atau aturan berkehidupan yang disesuaikan dengan kebutuhan dari tuntutan individu, serta hukum negara yang berlaku.
Untuk mencapai 'budaya hukum' yang maksimal, memerlukan proses yang cukup panjang dan waktu yang tidak sebentar. Perlu beberapa kali penyesuaian atau adaptasi agar menjadi habit di masyarakat. Terdapat beberapa budaya hukum yang tanpa kita sadari sudah diterapkan dan di ‘maklum' kan unsur hukum pada keadaan yang terjadi, karena diakibatkan adanya budaya hukum itu sendiri. Contohnya pada saat Idul Fitri, dalam melaksanakan ibadah atau sholat Ied biasanya diadakan dilapang besar dekat masjid bahkan di tengah jalan raya sekalipun. Karena kurangnya tempat pelaksaan sholat dan membludaknya jamaah. Hakikatnya di jalan raya tidak boleh ada kegiatan atau pun hal yang menghalangi proses berlalu lintas dan ada hukum yang mengaturnya. Namun saat pelaksanaan sholat Idul Fitri, hal ini di ‘maklumi' karena menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Sehingga hal ini disebut sebagai budaya hukum agama.
Lalu yang kedua mengenai budaya hukum di suatu wilayah. Tepatnya di daerah provinsi yang diberikan keistimewaan penyebutan kota nya. Yakni Daerah Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam. Pada masa penjajahan, daerah Aceh tidak sampai dikuasai oleh Belanda. Karena pengaruh dari Kesultanan Aceh yang sangat besar dan kuat. Terletak diujung pulau sumatra, menjadi salah satu tempat transit kapal perdagangan timur tengah pada zaman dahulu. Yang nantinya Aceh merupakan titik penyebaran agama Islam di Indonesia. Faktor sejarah yang islami, mendukung Aceh untuk menerapkan hukum yang sesuai dengan ‘budayanya’. Sehingga diterapkanlah ‘hukum syariah' di Nanggroe Aceh Darussalam. Hukum syariah merupakan hukum yang didalamnya melibatkan isi dari aturan islam. Hukum syariah di Aceh disebut dengan Qanun. Qanun pertama kali diterapkan pada tahun 2002 tetapi mendapat penolakan oleh salah satu gubernur di Aceh. Hingga pada tahun 2014 disetujui dan disahkan melalui peraturan daerah terbaru (perda) Qanun No. 6 tahun 2014 (Qanun Jinayat). Perda ini melarang konsumsi dan produksi minuman keras (khamar), judi (maisir), sendirian bersama lawan jenis yang bukan mahram (khalwat), bermesraan di luar hubungan nikah (ikhtilath), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, menuduh seseorang melakukan zina tanpa bisa menghadirkan empat saksi (qadzaf), sodomi antar lelaki (liwath), dan hubungan seks sesama wanita (musahaqah).
Bagi mereka yang melanggar mendapat hukuman berupa cambuk, denda, dan penjara. Beratnya hukuman yang diberlakukan tergantung jenis pelanggaran. Hukuman untuk khalwat merupakan yang paling ringan, yaitu hukuman cambuk maksimal 10 kali, penjara 10 bulan, atau denda 100 gram emas. Hukuman paling berat adalah untuk pemerkosa anak; hukumannya 150-200 kali cambuk, 150-200 bulan penjara, atau denda sebesar 1.500-2.000 gram emas). Hakim menentukan hukuman mana yang akan diberlakukan bagi pelanggar. Berdasarkan data Amnesty International sebanyak 100 kali kasus cambuk terjadi pada awal januari sampai desember 2016.
Hanya Aceh yang benar-benar menerapkan hukum islam secara maksimal. Dikarenakan faktor sejarah, budaya masyarakat yang agamis, serta mayoritas muslim menjadi penentu budaya hukum terlaksana di daerah tersebut.
Komentar
Posting Komentar