PERKEMBANGAN BUDAYA HUKUM PADA MASYARAKAT INDONESIA
PERKEMBANGAN
BUDAYA HUKUM
PADA
MASYARAKAT INDONESIA
Pernahkah
kita bertanya kepada diri kita sendiri mengapa ketika ada peraturan tetapi
masih saja dilanggar oleh masyarakat atau diri kita sendiri. Seperti misalnya
ketika terjadi ujian di sekolah pasti ada saja yang bekerja sama walau
jelas-jelas bekerja sama saat ujian itu dilarang keras dan dapat mendapatkan
sanksi dikeluarkan dari sekolah. Menurut saya kembali kepada budaya nenek
moyang kita yang gemar gotong-royong dan kebersamaan solidaritas yang tinggi
dalam menjalani sebuah hal yang dianggap masalah bersama. Maka oleh karena itu
tidak heran nilai-nilai ini masih terjaga erat di budaya kita, hingga pada saat
ujian pun praktek bekerja sama dan menyontek bersama masih tetap berjalan. Kurang
atau lebih seperti itu gambaran yang dapat saya beri untuk menjelaskan apa itu
budaya hukum, namun saya tidak membenarkan adanya praktek menyontek dengan
alasan budaya kita karena walaupun bekerja sama menambahkan solidaritas, tetapi
menyontek dan bekerja sama saat ujian itu membodohkan sehingga ada alasan dibalik
terciptanya sebuah aturan yang merupakan produk hukum.
Lebih
lanjut bahwa budaya hukum dapat dijelaskan sebagai respon masyarakat termasuk
sikap, pola perilaku, dan pengetahuan terhadap sistem hukum. Banyak hal yang
memengaruhi hukum jika dilihat dari budaya hukum seperti nilai dan budaya yang
dianut oleh masyarakat (Syamsudin, 2007). Seperti halnya tidak heran jika di Indonesia
terdapat hukum pidana yang berasal dari hukum Belanda dan hukum tersebut
seringkali bertentangan dengan nilai dan adat istiadat yang ada, karena memang
Indonesia harus membuat hukum sendiri tidak mengikuti hukum yang berlaku di
Belanda. Sekiranya harus ada empat pihak yang menjadi wakil masyarakat dalam
menciptakan budaya hukum yang sehat di Sistem Hukum Indonesia. Pertama adalah
orang-orang yang terlibat langsung dari hukum yang ada seperti terdakwa dan
saksi korban, atau dalam hukum perdata yaitu tergugat dan penggugat. Kedua
adalah publik atau masyarakat yang tidak terkait langsung dengan perkara namun
mendukung kepada salah satu pihak, seperti contohnya YLBHI. Ketiga adalah pihak
pers yang tidak memihak (netral), dapat menjadi perhatian bahwa pihak pers
tidak membuat berita yang bersifat agitatif dan menyesatkan. Keempat adalah
pihak yang berperan dalam proses persidangan, seperti penasihat hukum dan
jaksa. Dapat dipastikan juga bahwa mereka bekerja professional tanpa adanya
praktik suap-menyuap (2019).
SUMBER
Shidarta.
(2019, October). APA ITU BUDAYA HUKUM? Business Law Binus.
https://business-law.binus.ac.id/2019/10/04/apa-itu-budaya-hukum/
Syamsudin,
M. (2007). Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum. UNISIA, 30(64),
Article 64. https://doi.org/10.20885/unisia.vol30.iss64.art7
Komentar
Posting Komentar