BUDAYA HUKUM YANG BERKEMBANG DALAM MASYARAKAT INDONESIA
Nama : Eneng Devi Safitri
NPM : 170110200007
Pengertian budaya hukum menurut Satjipto Rahardjo adalah
nilai-nilai dan sikap-sikap masyarakat yang dapat mempengaruhi bekerjanya
hukum. Sedangkan Lawrence M. Friedman menggunakan istilah kultur hukum, menurutnya
kultur hukum adalah keseluruhan dari sikap-sikap warga masyarakat yang bersifat
umum dan nilai-nilai dalam masyarakat yang akan menentukan pendapat tentang
hukum. Dengan demikian keberadaan budaya hukum menjadi sangat strategis dalam
menentukan pilihan untuk berperilaku dalam menerima hukum atau menolak hukum.
Suatu hukum akan benar-benar diterima dan dipatuhi oleh masyarakat sangat
ditentukan oleh budaya hukum masyarakat bersangkutan.
Berdasarkan pengertian tentang
budaya hukum maka dapat kita simpulkan bahwa budaya hukum Indonesia sedang
berubah seiring dengan perubahan yang
terjadi dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Permasalahan yang krusial
sekarang ini adalah timbulnya degradasi budaya hukum di lingkungan masyarakat.
Budaya hukum bangsa Indonesia banyak mendapatkan
pengaruh dari aliran-aliran hukum maupun sistem hukum bangsa barat (Belanda),
yang merupakan asal hukum positif bangsa Indonesia.
Dalam praktik kehidupan
bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar (grounded dogmatic)
dimensi kultur kepatutannya mendahului dimensi lainnya, karena dalam dimensi
budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya
sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian
disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis
dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang
diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang
bersangkutan.
Banyak perilaku kehidupan bangsa
Indonesia yang dapat menggambarkan hal
tersebut, contoh yang sangat mudah dilihat adalah perubahan perilaku dalam
menyelesaikan suatu persengketaan. Dahulu bangsa Indonesia dalam menyelesaikan
persengketaan atau selisih paham diselesaikan dengan cara musyawarah untuk
mufakat, dengan cara damai, tetapi perkembangan sekarang setiap muncul
perselisihan lebih banyak diselesaikan di pengadilan, meskipun semua orang tahu
bahwa sekarang ini pengadilan bukan tempat untuk mencari keadilan.
Di sisi lain banyaknya
perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat yang tidak terselesaikan. Hal ini
bukan berarti belum adanya aturan, undang-undang, dan lemahnya struktur hukum,
tetapi lebih disebabkan masih lemahnya budaya hukum, yang dalam hal ini adalah kesadaran
hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat Indonesia semakin hari tidak
menjadi lebih baik tetapi menjadi semakin menurun.
Hal tersebut dikarenakan budaya
hukum bangsa Indonesia telah bergeser ke pandangan yang materialistis.
Bergesernya pandangan tersebut salah satunya dipicu karena tidak efektifnya
hukum. Ketidakefektifan ini dikarenakan banyak produk-produk hukum yang tidak
sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat Indonesia sehingga
masyarakat dalam menaati hukum bukan karena kesadaran akan arti penting hukum
tetapi lebih karena takut pada petugas atau penegak hukum. Kondisi ini membentuk
suatu pemikiran pada masyarakat yang menganggap hukum adalah petugas, sehingga jika
tidak ada petugas dianggap tidak ada hukum.
Kalau ditelisik pada perilaku
bangsa Indonesia di masa lalu. ketaatan masyarakat pada suatu aturan bukan
karena takut pada aparat tetapi mereka menyadari akan arti penting dan tujuan
dari aturan yang ada. Hal ini dapat kita lihat pada daerah-daerah yang mempunyai
aturan-aturan yang bersifat lokal (kearifan lokal).
Masyarakat setempat akan
mematuhi aturan tersebut dengan kesadaran yang tinggi bahwa aturan tersebut
bertujuan untuk kebaikan tanpa harus ada petugas yang selalu mengawasi dan
mengatur pelaksanaan peraturan tersebut Budaya hukum masyarakat yang tinggi,
adalah masyarakat yang tidak cenderung melanggar hukum walaupun tidak ada
aparat hukum yang melihatnya.
Saat ini bangsa Indonesia dalam
berhukum juga dipengaruhi pandangan positivis. Baik aparat penegak hukum maupun
masyarakat umum dalam melaksanakan dan mematuhi peraturan mengharuskan diri
berpedoman pada aturan yang secara formal ada sebagai undang-undang. Khususnya
para aparat penegak hukum dalam mengartikan hukum adalah undang-undang, jadi dalam
bekerja para aparat hukum ini sangat kaku karena berpandangan legalistik.
Keberadaan hukum yang hidup
tidak dipedulikan bahkan aturan yang hidup cenderung "ditiadakan".
Kondisi seperti ini merupakan pergeseran budaya hukum yang sangat tidak sesuai
dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Dengan pandangan positivistis
atau legalistik pemikiran bahwa tenaga kita lebih banyak difokuskan untuk
membuat aturan dan undang-undang baru tanpa memberi ruang yang memadai bagi
perbaikan dan penyiapan kultur hukum (sebagai struktur) yang lebih kuat dan
baik.
Pandangan individualistik mengubah
secara signifikan perkembangan budaya hukum bangsa Indonesia. Masyarakat
Indonesia yang bersifat komunal menjadi sangat individual termasuk dalam
perilaku hukumnya. Masyarakat sekarang ini cenderung memanfaatkan hukum untuk
mencapai tujuan bagi kepentingannya sendiri atau kelompoknya, bahkan masyarakat
cenderung untuk menghindari atau menyalahgunakan hukum dengan sengaja untuk
tujuan-tujuan tertentu yang pada akhirnya bersifat tidak adil bagi masyarakat
lainnya. Dari keterangan di atas menunjukkan bahwa salah satu unsur yang cukup
penting dalam penegakan hukum adalah unsur manusianya sendiri, yaitu aspek kesadaran
hukum. Ketika berbicara unsur manusia dari aspek kesadaran hukum masyarakatnya, maka di sini berarti
menyoroti segi manusia sebagai individu yang membentuk budaya hukumnya.
Seseorang akan taat pada hukum
atau tidak, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor yang paling berpengaruh terhadap
ketaatan seseorang adalah budaya hukumnya. Budaya hukum dilingkungan orang bekerja
di kantoran akan berbeda dengan
budaya hukum orang yang bekerja di jalanan, atau dapat dikatakan bahwa budaya
hukum orang dari status sosial bawah akan berbeda dengan budaya hukum dari
orang yang status sosialnya dari lapisan atas. Kesadaran hukum (budaya hukum)
masyarakat kita lemah, maka katalis (Undang-undang, aturan, dan struktur hukum)
apa pun yang diberlakukan dalam sistem sosial, hasilnya tidak efektif. Mengingat
kesadaran kolektif (budaya hukum) ini terbentuk dari interaksi antar komponen masyarakat,
maka jika kesadaran hukum masyarakat lemah, berarti kualitas interaksi dalam masyarakat
yang belum bermakna.
Satjipto Rahardjo mengemukakan
bahwa dalam usaha untuk membenahi hukum di Indonesia kita perlu menaruh
perhatian yang seksama terhadap masalah perilaku bangsa, kehidupan hukum tidak
hanya menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum tetapi
menyangkut soal pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan sosial yang
luas.
Aspek perilaku (budaya hukum)
aparat penegak hukum perlu dilakukan penataan ulang dari perilaku budaya hukum
yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum sebelumnya karena seseorang
menggunakan hukum atau tidak menggunakan hukum sangat tergantung pada kultur
(budaya) hukumnya. Telah terbukti bahwa akibat perilaku hukum aparat penegak
hukum yang tidak baik, tidak resistan terhadap suap, konspirasi, dan KKN,
menyebabkan banyak perkara tindak pidana korupsi yang tidak dapat dijerat oleh
hukum.
Kualitas budaya hukum menentukan kualitas penegakan hukum. Sebaik apa pun aturan hukum dibuat, sedetail apa pun kelembagaan dan manajemen organisasi disusun, yang akan menjalankan adalah manusia yang hidup dalam budaya tertentu. Ketika budaya belum berubah, aturan dan sistem tidak akan berjalan sesuai harapan. Dalam rangka penegakan hukum (tindak pidana korupsi misalnya) harus dilakukan dengan "pengorganisasian" secara terpadu, mengedepankan komitmen dan fakta integritas, moral yang tinggi antar lembaga polisi, jaksa, pengacara, hakim dan KPK serta menerapkan sistem hukum pidana dengan melakukan rencana tindakan yang nyata. Selain itu juga harus ada kemauan politik yang kuat dari para penguasa negara ini baik dari pemerintah maupun dari unsur legislatif (Presiden bersama-sama DPR) dengan suatu keberanian moral dan konsistensi hukum dengan meresponsnya. Para aparat penegak hukum harus mampu melepaskan diri dari budaya aparat hukum yang ada selama ini dinilai tidak adil dan buruk dan berubah ke arah peningkatan sumber daya manusia, manajemen yang lebih baik menjadi aset untuk dapat menjalani tugas para aparat penegak hukum yang ideal. Budaya hukum (budaya kerja) dari aparat penegak hukum yang baik akan menghasilkan penegakan hukum yang efektif dan efisien.
==============================================================
Friedman,
Lawrence M. 1975. The Legal System, Asocial Secience Perspective, New
York: Russel Sage Foundation.
Ismayawati,
Any. 2011. “Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Pembangunan Hukum di Indonesia”. Jurnal
Pranata Hukum, Volume 6 Nomor 1.
Purba,
Iman Pasu. 2017. “Penguatan Budaya Hukum Masyarakat Untuk Menghasilkan
Kewarganegaraan Transformatif”. Jurnal Civics, Volume 14, Nomor 2.
Rahardjo,
Satjipto. 1983. Permasalahan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni.
Rahardjo,
Satjipto. 2008. Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Warassih,
Esmi. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Surya Alam
Utama.
Komentar
Posting Komentar