BUDAYA HUKUM INDONESIA- Indah Sukhma PJ(170110200037)

 

Budaya Hukum Indonesia

Indah Sukhma PJ-037

    Hukum merupakan seperangkat aturan yang mengikat dan bertujuan untuk menjamin berlangsungnya ketertiban ditengah masyarakat. Aturan-aturan yang tertera didalam hukum ditujukan agar dapat menjaga keseimbangan dalam hubungan antaranggota masyarakat sehingga menjamin adanya kedamaian dalam hubungan bermasyarakat. Drs. C. S. T. Kansil didalam karyanya “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia” (1989) menuliskan bahwa untuk menjaga keberlangsungan hukum yang telah ditetapkan didalam suatu masyarakat, maka hukum tersebut harus sesuai dan tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut. Hukum akan cenderung besar tingkat penerimaannya apabila hukum tersebut dapat mengakomodasi kepentingan, norma, serta nilai-nilai yang menjadi ciri khas dari suatu masyarakat. Dengan kata lain, kesesuaian prosedur hukum dengan asas keadilan masyarakat berkaitan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu kepastian hukum.

    Untuk mengatahui dan memahami bagaiman kepentingan dan nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, maka sampul pertama yang mesti diberi perhatian adalah pola kultural didalam masyarakat tersebut. Dalam budaya masyarakat akan tercermin bagaimana pola-pola kebiasaan masyarakat dalam menata hubungan antaranggotanya, sehingga perlu dipahami budaya tiap-tiap masyarakat karena pada setiap kelompok tentunya memiliki kadar nilai yang berbeda pula. Dengan demikian, pemahaman akan kultural suatu masyarakat juga turut memberikan angin sehat terhadap ketahanan dan keberlangsungan hukum dalam suatu masyarakat.

    Jika pemahaman budaya hukum dibawakan kepada negara Indonesia, hal ini akan menjadi sebuah tantangan besar bagi para penegak dan perumus kebijakan hukum. Pada kenyataannya, apapun ketentuan hukum yang akan ditetapkan oleh pemerintah akan selalu menuai kecaman dari beberapa pihak. Hal ini disebabkan karena sebagian kelompok merasa kepentingan dan nilai-nilai yang mereka anut ternyata bertolak dari ketetapan hukum. Misalnya pengesahan UU Cipta Kerja yang beberapa waktu lalu sempat memantik perdebatan yang panas diruang publik. Ada beberapa hal dilematis yang saya soroti disini. Dikutip dari Kompas.com, salah satu alasan KSPI menolak disahkannya Omnibus Law ini adalah potensi upah minimum dihilangkan. Hal ini tentu saja akan merugikan para buruh karena bisa saja gaji yang diberikan perusahaan akan mengecil nominalnya sementara beban kerja tetap pada standar. Sementara itu, Ketua BEM KEMA Unversitas Padjadjaran, Riezal Ilham Pratama, menerangkan bahwa UU Cipta Kerja memantik perdebatan publik karena proses teknisnya, disamping substansi dari UU tersebur. Ia menyebutkan bahwa UU Ciptaker dirumuskan dalam keadaan yang tidak sesuai dengan asas demokrasi Negara Indonesia, dimana dalam perumusannya ini minim partisipasi publik.

    Jika ditinjau disisi lain, UU Ciptaker ditetapkan oleh pemerintah tentu dengan berbagai tujuan dan alasan. Salah satunya adalah untuk menarik minat investor lain agar mau berinvestasi di Indonesia. Sehingga akan menghasilkan lapangan pekerjaan baru untuk menjawab tantangan ledakan angkatan kerja dimasa yang akan mendatang. Perdebatan semacam ini seringkali terjadi disaat ada hukum baru yang akan ditetapkan oleh pemerintah. Sebab lain dari dilema penegakan hukum Indonesia adalah perilaku penegak hukum atau otoritas pemerintahan yang cenderung memasukkan kepentingan tertentu didalam birokrasi yang mereka jalankan. Hal ini merupakan suatu fenomena yang dinilai buruk tapi lazim terjadi di Indonesia. Perbuatan buruk para otoriter ini akan berdampak pada jatuhnya citra pemerintahan dimata masyarakat Indonesia. Jadi tidak heran apabila suatu hukum akan sulit untuk ditaati oleh warga masyarakat. Sebab mereka memahami bahwa peraturan ini seyogyanya bukan dirumuskan untuk kepentingan bersama, tetapi untuk menyokong kepentingan golongan tertentu. Hal ini akan mengakibatkan sulitnya hadir kondisi yang tertib hukum didalam negara.

    Kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi PR terberat bagi pemerintahan. Diperlukan penguasa hukum yang benar-benar memahami pada tingkat tradisional masyarakat dan bersih dari kepentingan politik yang akan berdampak buruk terhadap penegakan hukum. Kondisi pluralis akan selalu diwarnai oleh perbedaan-perbedaan nilai yang ada dalam sistem masyarakat. Dan mereka juga akan menuntut pemerintah untuk dapat menghasilkan suatu produk hukum yang sesuai dengan asas yang mereka yakini. Sehingga langkah pertama yang mesti dilakukan dalam menyikapi budaya hukum yang seperti ini adalah penegakan hukum yang berkeadilan oleh pemerintah agar dapat memperoleh kepercayaan dari warga masyarakat.

    Hal lain yang menjadi permasalahan dalam budaya hukum ini adalah rendahnya kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Kesadaran hukum berasal dari pemahaman dan penjiwaan terhadap hukum tersebut. Pemahaman terhadap hukum ini seringkali muncul dalam keadaan yang multitafsir yang mana timbul karena pola pikir yang diangkat dari kepentingan dan nilai tempat orang tersebut menjalani kehidupan. Sehingga hukum seringkali dianggap tak sesuai padahal mereka belum membuka mata terhadap sisi lain oleh penegakan hukum. Penafsiran sepihak ini mesti diubah agar masyarakat dapat menimbang faktor yang lebih konkret untuk menolak ataupun menerima suatu hukum. Hendaknya masyarakat mampu untuk berpikir secara terbuka mengenai hukum-hukum yang berlaku dan menimbangnya dengan kenyataan yang ada, tidak hanya terbatas pada ranah kecil saja, namun pada ranah yang lebih luas yaitu negara Indonesia.

    Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu bentuk budaya hukum yang berkembang diIndonesia adalah seringkali terjadi intrik dan polemik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Faktor penyumbangnya adalah kemajemukan yang dimiliki oleh Indonesia dan mayarakat merasa keberadaan hukum dapat menganggu bahkan mengancam keberlangsungan nilai-nilai yang mereka anut. Selain itu, tidak semua kepentingan masyarakat dapat terakomodasi oleh hukum juga menjadi salah satu penyebab mengapa budaya hukum yang seperti ini masih terdapat di Indonesia.

    Hal lain yang saya amati dari budaya hukum Indonesia adalah sistem hukum dan peradilan yang dilaksanakan adalah “peninggalan hidup” yang diwariskan oleh zaman penjajahan. Hukum-hukum yang berlaku tersebut pada dasarnya adalah hukum yang ditinggalkan oleh penjajahan yang masih bertahan hingga saat ini. Walaupun dalam beberapa aspek telah terjadi penyesuaian-penyesuaian terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang banyak sedikitnya tentu akan berbeda dari negara penjajah tersebut. Hukum-hukum itu juga seolah seperti benda hidup yang mana penerapannya masih berhegemoni hingga saat ini. Dalam dunia akademis misalnya. Terdapat istilah-istilah belanda dalam proses pembelajaran PKN ataupun mengenai hukum itu sendiri. Keberlangsungan ini karena belum ditemukannya sistemasi baru yang sesuai dengan keadilan yang berlaku di Indonesia, sehingga penerapan hukum peninggalan ini masih tetap diterima oleh masyarakat Indonesia.

 

referensi :

 

Kansil, C. S. T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Tohir, Toto. 2011. Rekonstruksi Budaya Hukum Nasional yang Berbasis Nilai-Nilai Budaya Hukum Bangsa Indonesia. Jurnal Syiar Hukum : Fakultas Hukum UNISBA. Vol. 13(01) : 104-115.

Sesse, Muh. Sudirman. 2013. Budaya Hukum dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Hukum Nasional. Jurnal Hukum Diktum : Vol. 11(02) : 171-179.

Sandi, Ferry. 2020. 7 Alasan Buruh Tolak Omnibus Law : Benarkah PHK tak Ada Pesangon?. diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20201005131005-4-191944/7-alasan-buruh-tolak-omnibus-law-benar-phk-tak-ada-pesangon (20 Maret 2021).

 

Komentar

Postingan Populer