Bagaimana Budaya Hukum yang Berkembang dalam Masyarakat Indonesia?
Nama : Widia Yuliawati
NPM : 170110200013
Matkul : Sistem Hukum Indonesia
Bagaimana Budaya Hukum yang
Berkembang dalam Masyarakat Indonesia?
‘Budaya’
diartikan sebagai pikiran, akal budi, adat istiadat, atau sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Sementara itu ada kata ’kebudayaan’
yang dimaknai sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Bisa juga diartikan sebagai
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk
memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah
lakunya (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2005: 169-170).
Ahli
hukum Jerman, F.C. von Savigny meyakini bahwa faktor budaya sangat berperan
untuk menentukan corak hukum suatu masyarakat, bahkan bangsa. Setiap bangsa
yang dipersatukan oleh bingkai sejarah yang sama, biasanya memiliki satu jiwa
bangsa (Volksgeist). Hukum tidak dibuat, melainkan tumbuh bersama dengan
masyarakat. Dalam teori yang lebih modern, Leon Duguit dari Prancis
menyimpulkan bahwa hukum objektif itu tidak tumbuh dari jiwa bangsa atau dari undang-undang,
melainkan dibangun oleh solidaritas sosial. Artinya, berkat ikatan solidaritas
sosial itulah maka kehidupan suatu bangsa bisa berjalan dengan tertib, dan
hukum bisa ditegakkan. Dua pendekatan
berpikir ala Savigny dan Duguit mencerminkan pandangan bahwa hukum sebagai pola
perilaku sosial dalam skala makro. Hukum dikaitkan dengan jiwa bangsa dan
solidaritas sosial.
Dilihat
dari subjek yang membentuk budaya hukum tersebut, oleh Friedman dibedakan
menjadi dua. Ada budaya hukum eksternal yang melibatkan masyarakat luas secara
umum. Selain itu ada budaya hukum internal, yaitu budaya yang dikembangkan oleh
para aparat penegak hukum. Kedua jenis budaya hukum ini saling mempengaruhi.
Jika budaya hukum ekternalnya sehat, maka dengan sendirinya budaya hukum
internal akan ikut menyesuaikan karena aparat penegak hukum pada hakikatnya
adalah produk dari masyarakatnya sendiri. Jika masyarakat tidak terbiasa
memberi suap maka aparat penegak hukum juga tidak akan terbiasa meminta suap. Pada
sisi sebaliknya, jika aparat penegak hukum terbiasa menolak dengan tegas setiap
bentuk penyuapan, maka masyarakat juga tidak akan berani memulai berinisiatif
memberi suap.
Friedman
(seperti dikutip Ade Maman Suherman, 2004: 11-12) juga mengatakan, sistem hukum
merupakan suatu sistem yang meliputi substansi, struktur dan budaya hukum.
Struktur
hukum (legal structure) merupakan institusionalisasi dari entitas-entitas
hukum. Sebagai contoh adalah struktur kekuasaan pengadilan (di Indonesia) yang
terdiri dari Pengadilan Tingkat 1, Pengadilan Banding, dan Pengadilan Tingkat
Kasasi, jumlah hakim serta intergrated justice system. Selain itu juga dikenal
adanya Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha
Negara dan Peradilan Pajak. Selanjutnya Friedman menegaskan bahwa hukum memiliki
elemen pertama dari sistem hukum, antara lain struktur hukum, tatanan
kelembagaan dan kinerja lembaga.
Adapun
yang dimaksud dengan substansi hukum adalah aturan atau norma yang merupakan
pola perilaku manusia dalam masyarakat yang berada dalam sistem hukum tersebut.
Budaya
hukum (legal culture) adalah sikap dan nilai-nilai yang terkait, dengan tingkah
laku bersama yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya.
Maka dengan
begitu menurut opini saya terlepas apakah pola-pola perilaku yang dibiarkan
terjadi terus-menerus itu baik atau buruk bagi kehidupan hukum di dalam
masyarakat, maka demikianlah suatu budaya hukum akan tercipta. Di sini berlaku
hukum tidak tertulis, bahwa pola perilaku yang berulang-ulang akhirnya akan
”disepakati” mengikat bagi seluruh warga masyarakat. Budaya hukum yang baik akan
berkontribusi membentuk sistem hukum yang sehat, sementara budaya hukum yang
tidak baik akan mendorong timbulnya sistem hukum yang sakit. Budaya
hukum yang sehat diwujudkan dalam bentuk kesadaran hukum (rechtsbewustzijn),
sedangkan budaya hukum yang sakit (tidak sehat) ditunjukkan melalui perasaan
hukum (rechtsgevoel).
Soerjono
Soekanto (1982: 140) menyebutkan empat tahapan suatu masyarakat untuk dapat
memiliki kesadaran hukum yang baik, yaitu: (1) pengetahuan hukum, (2) pemahaman
hukum, (3) sikap hukum, dan (4) pola perilaku hukum. Pernyataannya tersebut
menunjukkan bahwa tahu secara kognitif tidak menjamin orang memiliki kesadaran
hukum. Pengetahuan ini harus ditingkatkan menjadi pemahaman. Dengan pemahaman
berarti para subjek hukum itu dapat menjelaskan dan mengkomunikasikan materi
hukum itu kepada pihak lain. Dimensi kognisi ini kemudian beralih ke aspek
afeksi, yakni hadirnya sikap hukum yang positif. Puncak dari semuanya ada pada
pola perilaku hukum yang berlangsung secara ajeg, yakni pola perilaku taat
hukum yang dilandasari oleh budaya hukum yang sehat.
Begitulah
budaya hukum yang terjadi di Indonesia , masyarakat indonesia kurang dalam
kesadaran hukum dan juga dikatakan sebagai budaya hukum yang sakit, dikarenakan
masih banyak yang menunjukan hukum atas perasaan pribadi, pejabat atau aparat
hukum sekarang menutup mata akan kebenaran dan membuka mata atas mereka yang
memiliki kekuasaan.
Komentar
Posting Komentar